A A NAVIS TOKOH INSFIRATOR MINANG
A A NAVIS TOKOH INSFIRATOR MINANG
A.A NAVIS
mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tetapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan kadang-kadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997.
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.
Haji Ali Akbar Navis adalah sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang di kenal dengan nama A.A Navis.
Karya bapak satu ini yang mungkin sangat familiar oleh kita adalah Robohnya Surau Kami,
di setiap buku pengantar pendidikan Bahasa Indonesia di SD sampai SMA
kita pasti pernah menemukan cerita tersebut, walau kebanyakan di penggal
menjadi bagian kecil.
Tapi ya cerita hanya sampai di cerita, kita tidak tahu siapa
penulis dari cerita tersebut, kita familiar dengan karya sastra nya tapi
tidak pernah dengar dengan nama penulisnya.
Dua hari sebelum meninggal dunia, bapak satu ini masih meminta
putri nya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia
tidak bisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan
bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka.
Dan banyak lagi buku buku lain hasil karyanya.
Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatra's Westkust, 17 November 1924 – meninggal di Padang, Sumatera Barat, 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia
yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis
sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita
pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya
mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar
hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang
putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor.
Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat
utamanya dalam kehidupan, tetapi jika dikasih memilih, ia akan pilih
jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu
resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati
oleh para koruptor itu.
A.A NAVIS
mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:
- Surau Kami (1955)
- Bianglala (1963)
- Hujan Panas (1964)
- Kemarau (1967)
- Saraswati
- Si Gadis dalam Sunyi (1970)
- Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
- Di Lintasan Mendung (1983)
- Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
- Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
- Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
- Cerita Rakyat Sumbar (1994)
- Jodoh (1998)
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tetapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan kadang-kadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997.
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.
Komentar
Posting Komentar